
Nyentana – Bertemu pasangan hidup yang sesuai, kemudian melangsungkan pernikahan adalah hal yang sangat dinantikan oleh mereka yang usianya sekitaran seperempat abad. Namun perkara mencari pasangan hidup bukanlah masalah sepele ton. Mencari dan mendapatkannya mungkin sangat mudah bagi sebagian orang, namun mempertahankannya sangat sulit. Namun ternyata ton, sebagian kecil lainnya sangat susah bahkan baru saat fase mencari khususnya untuk perempuan. Memang terbilang sedikit aneh karena biasanya lelaki yang kebanyakan mencari dan wanita lebih banyak menunggu. Hal sebaliknya pun kini sudah sering terjadi, terlebih bagi mereka yang akan mencari sentana. Saat mendengar kata “mencari sentana” tak banyak kemudian laki-laki yang melanjutkan pendalaman pencariannya pada seorang wanita yang ia inginkan. Alasannya pun bervariasi, mulai dari ketakutan keluarga dan beban hidup yang lebih berat dari konsekuensi menjadi seorang sentana.
Sentana merupakan sebuah istilah untuk seorang laki-laki yang menikah dan kemudian meninggalkan keluarganya lalu tinggal bersama dan ikut berkeluarga di keluarga sang perempuan. Mungkin semeton yang di Bali cukup familiar dengan istilah ini. Mereka yang keluarganya tidak memiliki sentana atau penerus seorang laki-laki biasanya kemudian mencari sentana dengan mencarikan calon suami yang mau tinggal bersama sang perempuan dan berkeluarga utama di keluarga sang perempuan. Tentu ini bukan hal yang mudah ya ton. Terlepas dari beratnya beban yang didapuk, salut kami ucapkan untuk mereka yang berjuang menjalani kisah nyentana.
BACA JUGA: Kasta di Bali? Apa Saja Kasta di Bali? Dilema Antara Kasta
Lika-Liku Nyentana
Sebelum lanjut ke masalah pernikahan, mari kembali kesaat masa-masa pacaran ton. Bagi Nyoman seseorang yang identitasnya disamarkan, nyentana adalah hal yang tidak ia takutkan. Karena memiliki saudara laki-laki banyak, jadi ia tidak takut apabila berkeluarga di keluarga sang perempuan nantinya. Ini adalah kali ke-3 nya berpacaran dengan perempuan yang mencari sentana. Entah mengapa, selalu saja dia dihadapkan dengan perempuan yang mencari sentana. Atau mungkin ia sudah ditakdirkan untuk menjadi salah satu dari sekian orang yang akan nyentana. Namun begitu baginya pacaran dengan mereka yang mencari sentana terbilang cukup rumit.
Dalam beberapa kesempatan sering sekali ia mendapat ketidakpercayaan di tengah jalan oleh sang perempuan. Seiring berjalannya waktu naik turunya tensi hubungan sangat rentan terjadi. Saat seperti itulah hubungan kadang menjadi taruhannya dan munculah mosi tidak percaya oleh sang perempuan. Apa kamu yakin bakal nyentana? Pertanyaan itu sangat rentan keluar saat hubungan ada pada titik terendahnya. Akibat hal seperti itu pun kadang membuat hubungan akhirnya usai dan cerita nyentana tidak berlanjut.
Nyentana? Obrolan tetangga
Selain itu hal yang sangat mematahkan semangat dan membuat keraguan pada dirinya adalah omongan atau gosip lingkungannya. Memang, gosip sangat berbahaya apalagi di telan mentah-mentah. Banyaknya omongan tentang kontroversi menjadi seorang sentana yang awalnya dibaik-baikin dan kemudian belakangan ditindas saat sudah memiliki keturunan sangat sering dibahas di masayarakat apalagi menjadi obrolan tongkrongan. Baginya, semua hanya omongan belaka sebelum ia benar-benar merasakannya karena beda orang tentu akan membuat beda pandangan. Bagaimana kalau kalian ton? Kalian udah siap sama omongan tetangga bila kalian mengambil langkah ini?
Bagi Nyoman, hidup adalah jalan yang harus ditempuh, baik buruknya tergantung kita menjalaninya. Jadi bila niatan baik kita untuk nyentana, tentu akan mendapatkan nikmat kebaikan pula. Begitu pula sebaliknya, hukum karma lah ya. Pacaran dengan perempuan yang mencari sentana juga membuatnya sadar siapa saja yang merupakan teman-temannya. Teman yang benar-benar memberi dukungan dan pertimbangan yang sehat dalam ia menjalani hubungan. Karena mencari teman yang baik saat ini sangat susah ton. Bener juga Nyoman, ini bagian dari seleksi teman juga.
Restu Orang Tua
Nah yang kemudian menjadi masalah paling pelik adalah restu orang tua. Meski Nyoman bersaudara laki-laki berbanyak, ini tak jadi jalan mulus karena orang tuanya belum benar-benar ikhlas bila dirinya akan nyentana. Orang tua tentu punya pertimbangan seperti, masalah adaptasi kebiasaan keluarga baru, kewajiban sebagai lelaki yang nyentana, urusan adat yang kadang sedikit pelik juga menjadi bahan pertimbangan tidak mulusnya rencana Nyoman untuk nyentana.
Meskipun begitu, di hubungannya yang kali ketiga ini bersama perempuan yang mencari sentana ia yakin, semesta akan merestuinya. Selain atas nama cinta dan kebahagian, ada keikhlasan untuk menjalani pernikahan yang tak biasa orang Bali lakukan yaitu kawin dan menetap menjadi bagian utama keluarga perempuan. Sungguh ini adalah suatu hal yang mulia meski masih banyak menjadi ketakutan bagi sebagian besar pemuda dan keluarga di Bali.
Apakah ini sebuah Budaya?
Melihat seringnya di Bali menikah dengan status nyentana, banyak orang membuat kesimpulan bahwa nyentana kini sudah menjadi sebuah budaya. Lalu apakah benar begitu, apakah sesuatu yang sering dilihat disebut dengan budaya?
Jika kita menarik ke belakang ke pengertian budaya itu sendiri, kesimpulan diatas tentu tidak dapat dibenarkan dan juga tidak dapat disalahkan. Tak semua orang setuju bahwa nyentana itu baik dan tidak semua orang juga setuju bahwa nyentana itu kurang baik. Maka tidaklah dapat dikatakan sebagai sebuah budaya, karena pada dasarnya budaya adalah sebuah hal yang secara absolut merupakan hal yang baik dan merupakan hasil dan buah pemikiran yang mulia.
Bila kita telaah lebih dalam lagi dengan penuh toleransi, nyentana dapat dipandang sebagai sikap tulus ikhlas membantu keluarga sentana untuk mendapatkan jalan keturunan untuk di masa yang akan datang. Meski menjalani cukup pelik dan mengkhawatirkan bagi sebagian orang, nyentana kembali merupakan sebuah ketulusan bagi ia yang ingin dan mau menjalani. Kadang kala, orang yang diinginkan tak mau alias ketidakcocokan, kadang kala keluarga tak rela, dan masih banyak alasan lainnya yang menghalangi sebuah niat tulus untuk membantu keluarga sentana itu sendiri.
Lalu, apakah sudah ikhlas?
Pertanyaannya sekarang adalah, sudah ikhlaskah? sudah siapkah untuk nyentana? Bila kita membuat sebuah perbandingan, secara kasat mata ini hanyalah pernikahan Bali yang “tertukar”. Pengantin pria datang dan tinggal bersama dan berkeluarga utama bersama keluarga pengantin wanita. Dimana yang pada umumnya, pengantin wanitalah yang datang dan tinggal menetap dan menjadi keluarga utama bersama dengan keluarga sang pengantin pria. Sederhana, secara kasat mata.
Dibalik itu semua, ada sebuah “beban” tanggung jawab, “beban” moral, dan beban “sosial” yang dilakukan oleh seorang pria yang pergi meninggalkan keluarga intinya untuk menjadi bagian utama keluarga sang wanita. Tak semua orang mampu merasakan, susahnya dan peliknya bila sang pria tidak “menikmati” apa yang terjadi di keluarga barunya. Meskipun kadang tak sedikit sang pengantin perempuan juga menghadapi ketidakcocokan di keluarga sang pria. Namun perlu diingat bahwa ego seorang pria kadang dapat membuatnya lengah dan mungkin saja mendatangkan “malapetaka”.
Namun begitu, tak sedikit juga yang hidup rukun di keluarga sentananya. Menikmati hari dan kebiasaan baru di keluarga utama yang baru dengan ikhlas dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Nyentana tetaplah akan menjadi nyentana, karena ini dasarnya adalah sebuah ketulus-ikhlasan untuk membantu yang banyak dicitrakan kurang baik oleh masyarakat sosial di Bali.