Galungan adalah hari raya yang paling ditunggu umat Hindu di Bali selain Nyepi. Kenapa ditunggu? Mungkin karena ada banyak aktivitas yang mereka bisa lakukan saat menyambut atau saat Galungan itu sendiri. Tidak hanya urusan sembahyang, tapi juga urusan kuliner Babi saat menyambut Galungan. Apalagi euphoria dan semarak Galungan dan berjumpa keluarga, momen yang sangat banyak dinantikan untuk obati kerinduan akan kampung halaman.
Menyambut Galungan memang cukup panjang. Ada beberapa rangkaian upacara sebelum hari Galungan itu datang. Mulai dari Sugian Jawa dan Sugian Bali yang dikenal dengan hari dimana umat Hindu menyucikan diri dan juga semesta sebelum menyambut hari Galungan itu sendiri.

Dari Tumpek Wariga hingga Sugian
Namun jauh sebelum itu, ada Tumpek Wariga sebuah hari Sabtu saat Wuku Wariga yang ditujukan untuk menghaturkan syukur pada alam khususnya tumbuh-tumbuhan. Umat Hindu menghaturkan semacam sesaji yang dimana ada bubur di dalamnya. Pohon-pohon yang berbuah kemudian diiris batang pohonnya lalu dimasukan bubur dan didoakan agar mereka berbuah yang bagus dan berkah untuk menyambut hari Galungan yang akan segera datang.
“kaki-kaki ijo I dadong mapan bin 25 lemeng galungan sing ada ngenah? Yo gelem, ne bubuh nged-nged-nged” begitu kira-kira doa yang terucap.
Setelah Sugian selesai, Galungan dimulai dengan Penyekeban, hari dimana bahan-bahan sesaji seperti pisang dan tape mulai di-sekeb atau dimatangkan dengan menggunakan metode tradisional seperti membungkus dalam daun gamal atau yang bahkan terkini banyak dengan menyemprotkan cairan karbit lalu dicuci bahannya tersebut setelah masak khususnya untuk pisang.
Setelahnya ada Penyajaan, segala jenis jajan mulai dibuat. Orang Bali cakap membuat jajan, jajan yang dibuat bukan bolu, bukan roti kukus, tapi jajan gorengan ya karena metode akhirnya digoreng. Ada jaje uli, jaje gina, jaje sirat, dan lain sebagainya beda daerah di Bali mungkin sebutannya juga beda ya. Jajanan yang mungkin tak banyak dilirik hari ini oleh anak muda setelah ngelungsur atau aktivitas mengambil sisa sesaji setelah dihaturkan, tidak seperti bolu, brownies, roti kukus, atau kue-kue premium lainnya. Namun jaje gorengan ini harus ada dan bisa dibilang sebagai mandatory cake dari sebuah sesaji atau banten. Kini, dengan praktis orang bisa membelinya di pasar atau dengan mereka para pembuat jajan yang masih ada dan lestari hingga hari ini, biasanya banyak di kampung-kampung.
Penampahan Galungan: Tak Hanya Nampah Tapi Lebih ke Kuliner
Penampahan adalah saat sehari sebelum Galungan. Momen Penampahan ini paling dinanti, karena ini adalah saat semua story Instagram dan Whatsapp adalah sepiring nasi, lengkap dengan lawar, babi goreng, tum, urutan dan kuah komoh atau balung. Benar sekali, hari Penampahan kini berarti makan-makan bukan lagi nampah seperti makna dari kata Penampahan itu sendiri. Orang kini semakin praktis, tinggal beli daging babi/ayam yang sudah dipotong dan bersih tinggal masak atau bahkan bisa beli yang sudah jadi mulai dari lawar, tum, dan berbagai olahan masakan lainnya.
Dulu kultur “mepatung” adalah salah satu ide menarik saat Penampahan. Seorang peternak atau pemilik babi akan mengecer babi hidup utuh mereka dengan harga tertentu untuk beberapa orang. Pagi-pagi dini hari saat hari Penampahan, mereka semua berkumpul, mengambil babi dari kandangnya, memotongnya dengan doa, lalu membagikannya sesuai dengan jumlah yang sepadan dengan jumlah uang yang mereka patungan. Semua mendapat bagian yang lengkap, mulai dari bagian kepala hingga kaki bahkan darah dan jeroan. Kemudian mereka kembali pulang dan lanjut mengolahnya di rumah masing-masing. Ada sesuatu yang menarik, bagian daging babi yang mereka bawa pulang biasanya dengan baskom atau tas plastik diatasnya diisikan daun atau tumbuhan berduri, misalnya pandan berduri. Konon agar dijauhkan atau tidak dicari para bhuta kala.
Daging Babi Meroket, Orang Bali Sulit Jual & Beli Babi saat Galungan Tiba
Sayangnya, belakangan ini daging Babi dan perlengkapan hari raya sering menjadi komoditi yang “mahal” layaknya cabai dan sembako yang naik saat Idul Fitri. Anehnya peternak babi di Bali selalu sulit menjual babi dengan harga yang bagus saat hari raya. Bahkan mereka yang tak punya babi juga sulit untuk membeli karena harganya yang meroket. Di lain sisi, mereka enggan “mepatung” karena berpikir “tuyuh atau ribet dan capek” . Sebuah dilema akan situasi perayaan sebuah hari raya kemenangan, lalu siapa sebenarnya yang menang disini?
Tak sampai disana Penampahan juga menjadi hari dimana Penjor, sebuah simbol kemenangan mulai dipasang di setiap pintu gerbang rumah-rumah umat Hindu di Bali. Setiap rumah dengan satu pintu keluar memasang satu penjor yang lengkap dengan segala jenis sarananya, semua diambil dari unsur-unsur tumbuhan yang ditanam di bawah tanah (pala bungkah), buah-buahan (pala wija) dan lain sebagainya lengkap dengan sampian penjor. Selengkapnya tentang Penjor bisa dibaca disini.
Penampahan Galungan: Pulang Kampung hingga Banten Soda
Di hari Penampahan ini pula sanak saudara akan berdatangan. Orang Bali walaupun sudah menikah keluar, mereka akan datang atau pulang kampung dengan membawa sesaji (banten soda) yang dihaturkan pada leluhur-leluhurnya saat hari raya Galungan. Tak hanya bertukar banten soda, bertukar makanan dan berbagi kuliner hasil olahan saat Penampahan pun menjadi bagian paling menyenangkan saat hari itu. Istilah angpao atau THR juga kian populer, anak-anak kecil sering diberikan sejumlah uang untuk bekal hari raya.
Saat hari Galungan tiba, suasana Bali terasa begitu khidmat. Asap dupa sudah mengepul dari pagi, semerbak wangi bunga, bahkan musik-musik gamelan banyak digaungkan di rumah-rumah dan Pura-Pura di Bali. Masyarakat Hindu mulai prosesi sembahyang dari pelinggih-pelinggih di rumah, merajan (pura keluarga), hingga ke pura kahyangan desa (Pura Desa, Puseh, & Dalem). Tak hanya itu, mereka juga menyempatkan untuk menghaturkan sesaji ke pura dimana mereka biasanya mengais rejeki. Sembahyang ke tempat kerja, ke sekolah, ke pura subak bagi yang memiliki lahan sawah, dan berbagai pura lainnya.
Galungan: Keluarga & Nostalgia, Hingga Malu Pulang Kampung
Momentum Galungan tidak hanya untuk melakukan persembahyangan semata, ada kekeluargaan yang sedang dipupuk di dalamnya. Mereka yang pergi merantau dan jarang ada di rumah kampung biasanya menyempatkan diri untuk saling berkunjung dari rumah ke rumah keluarga. Saling bertegur sapa, membagikan kisah-kisah lama dan bernostalgia dikala tetangga datang kemudian nimbrug di dalam obrolan keluarga. Sebuah pemandangan yang tidak asing bagi sebuah momen Galungan di setiap keluarga di Bali.
Namun tak jarang juga bagi mereka yang jarang sekali pulang merasa asing dan bahkan mengasingkan diri dari keluarga besar karena malu tak pernah pulang karena kesibukan. Sebuah fenomena yang juga tidak bisa terhindarkan dari setiap hubungan sosial dan berkeluarga di Bali.
Namun begitu, Galungan tetaplah hari raya yang penuh euphoria dan semarak kemenangan. Ungkapan rasa rindu terhadap orang tua, keluarga, sanak saudara, hingga berbagai ajang keakraban sosial bermasyarakat lainnya. Itu semua melebihi dari sekadar hubungan manusia dengan Tuhan yang khusuk dari setiap laku persembahyangan yang digelar.
Selamat menyambut hari raya Galungan dan Kuningan untuk umat Hindu sedharma dimanapun berada. Rahayu.